Keberadaan masyarakat adat adalah fakta sosial sejak lama di tanah yang sekarang kita kenal dengan Indonesia. Bahkan jauh sebelum bentuk Republik diproklamasikan tahun 1945.

Dalam masa pergolakan menuju republik, kelompok-kelompok intelektual mengagregasi kepentingan-kepentingan masyarakat adat untuk menjadi salah satu argumentasi menuntut kemerdekaan, di samping hal-hal penting lainnya. Namun, dalam semangat nasionalitas yang meninggi, lokalitas adat tidak dimasukkan sebagai penyangga hukum (hak) dasar yang disusun oleh para founding father. Pembicaraan mengenai masyarakat adat dalam penyusunan UUD 1945 hanya dibicarakan oleh M. Yamin dan Soepomo. Para tokoh lain yang berasal dari daerah tidak meresponsnya dengan serius.

Konstruksi masyarakat adat yang diatur dalam UUD 1945 generasi pertama adalah pemerintahan masyarakat adat sebagai pemerintah “bawahan” yang istimewa untuk menopang Pemerintahan Republik di Jakarta. Sebagaimana sebutkan dalam Penjelasan Pasal 18 UUD 1945: “Dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen (daerah-daerah swapraja) dan volksgetneenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.”

Pada masa itu, paham integralistik dari Soepomo dipercaya akan menjadikan negara sebagai organisasi budiman, ibarat sayang bapak kepada anaknya (paternalistik). Untuk itu, semua hak dinaikkan kepada negara kemudian unit-unit sosial lainnya seperti masyarakat adat dijadikan sebagai bagian dari skema pemerintahan baru yang menyatu dengan misi Jakarta.

Korban Pembangunan

Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, eksploitasi sumberdaya alam merupakan kunci utama pertumbuhan ekonomi. Eksploitasi sumberdaya alam yang mengundang intervensi modal dengan dalih pembukaan lapangan kerja berkontibusi besar merusak tatanan dan peminggiran masyarakat adat. Pola seperti ini menghadap-hadapkan masyarakat adat dengan pemilik modal dan pemerintah sebagai fasilitator modal tersebut di lapangan.

Perundang-undangan dan kebijakan pemerintah republik terutama UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) meletakkan masyarakat adat dengan hak ulayatnya dalam rumusan aturan yang ambigu. Antara mengakui dan mencurigai. Kemudian dalam era Pembangunanisme Orde Baru, disamping ambiguitas yang dipertahankan, masyarakat adat dideskreditkan dengan sebutan sebagai masyarakat terasing, masyarakat primitif, atau masyarakat terbelakang. Akhirnya lewat UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa, masyarakat adat yang memiliki pola pemerintahan khas diseragamkan menjadi desa. Inilah pukulan telak terhadap keberadaan masyarakat adat.

Motif perundang-undangan pada masa itu adalah merubah tatanan masyarakat adat yang tradisional menjadi masyarakat berbudaya modern.

Namun, dunia telah membuktikan, bahwa pembangunanisme (developmentalisme) meneruskan semangat kolonialisme dengan merampas tanah masyarakat adat, melakukan peminggiran dan mengobok-obok pola produksi dan tatanan politik masyarakat adat. Hal ini kemudian membuat gerakan internasional dan perlawanan lokal masyarakat adat muncul dan menguat. Perlawanan masyarakat adat di Indonesia menguat seiring tumpangnya Orde Baru sebagai suatu upaya emansipasi, reparasi dan restitusi hak-hak yang selama Orde Baru berkuasa telah dipinggirkan.

Pada taraf Internasional, sejak pembentukan Working Group on Indigenous Population (WGIP) pada tahun 1981, baru pada bulan September tahun 2007 lahirlah Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Asli (United Nation Declaration on the Rights of Indigenous People) yang dapat dijadikan sebagai bahan argumentasi baru bagi gerakan masyarakat adat di Indonesia.

Amandemen bersyarat

Amandemen UUD 1945 kedua yang disahkan pada 18 Agustus 2000 memberikan aturan yang lebih luas tentang masyarakat adat dibandingkan dengan UUD 1945 generasi pertama. Dikatakan lebih luas karena disamping meneguhkan aturan pemerintahan masyarakat adat yang istimewa, juga diatur secara deklaratif bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya …” Namun, sayangnya pengakuan itu diikuti dengan persyaratan-persyaratan: “… sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Persyaratan yang terdapat dalam Pasal 18B ayat 2 UUD 1945 mengekor kepada persyaratan yang sebelumnya ada di dalam UUPA (1960) yang ambigu itu. Kemudian dalam beberapa undang-undang yang dibuat pasca Orde Baru masih konsisten untuk mengerem progresivitas masyarakat adat lewat persyaratan-persyaratan sebagaimana dalam UU Kehutanan (UU No. 41/1999), UU Sumberdaya Air (UU No. 7/2004), dan UU Perkebunan (UU No. 18/2004)

Pengaturan masyarakat adat di dalam hukum negara mulai dari level UUD sampai peraturan di bawahnya masih bersifat ambigu karena tidak jelas dan tidak tegas. Dikatakan tidak jelas karena tidak terinci bagaimana hak dan posisi masyarakat adat dalam kerangka kebijakan negara secara lebih luas dalam ikhtiar kesejahteraan sosial secara bersama. Dikatakan tidak tegas karena belum ada pengaturan yang dapat ditegakkan untuk mengatasi persoalan-persoalan lapangan yang selama ini dialami masyarakat adat seperti “perampasan” ulayat dan ancaman kriminalisasi dari hukum negara, terutama perundang-undangan yang berkaitan dengan sumberdaya alam.

Kebingungan Pemerintah

Ada dua kemungkinan mengapa pengaturan masyarakat adat dalam hukum negara dari dahulu sampai hari ini masih kabur. Pertama: Pemerintah dalam kapasitas sebagai regulator tidak mampu mengkonstruksi keragaman masyarakat adat dengan totalitas sosialnya ke dalam suatu perundang-undangan yang bersifat tertulis, publik dan general secara akomodatif. Hal ini dikarenakan kemajemukan masyarakat Indonesia yang terkategorisasi dalam berbagai pengelompokan secara horizontal berdasarkan suku, agama, ras, bahasa dan lainnya yang tersebar pada berbagai pulau.

Kemungkinan kedua, Pemerintah enggan atau tidak mau membuat aturan yang menguatkan keberadaan masyarakat adat. Hal ini merupakan warisan dari “pembangunanisme” Orde Baru yang meletakkan masyarakat adat sebagai faktor yang dapat menghambat investasi. Kekaburan pengaturan masyarakat adat pada kenyataannya menguntungkan penguasa politik dan pengusaha swasta besar karena dapat memanipulasi hukum yang terlanjur melemahkan masyarakat adat.

Namun, konstitusi sudah memberikan janji bahwa masyarakat adat harus dihormati dan diakui. Pengalaman ketidakadilan dan peminggiran selama ini sudah cukup menjadi konsideran untuk lahirnya suatu pengaturan yang lebih baik bagi masyarakat adat. Meskipun lahirnya suatu aturan yang baik belum tentu berdampak pada jaminan sosial masyarakat adat. Setidaknya peraturan hukum yang lebih jelas dan tegas bisa menjadi salah satu jaminan serta menjadi arena negosiasi yang deliberatif.

Yance Arizona

Sumber gambar:

3 thoughts on “Jaminan Hukum Masyarakat Adat

  1. dalam banyak hal, masyarakat adat lebih bijak daripada… (syapa ya??)
    jadi, tetap harus dihargai. kita bisa banyak belajar dari mereka.
    Hidup Rakyat Indonesia!

  2. hanya dengan radio dan televisi yang sifatnya lokal atau kedaerahan, penetrasi daerah tertinggal dapat disentuh oleh budaya perkotaan wilayah pancaran terrestrial tv dan radio setempat yang saya gagas.

    teknologi untuk itu sudah kami praktekkan, karena status kami sejak tahun 70 an tidak jelas, maka untuk menlihat buktinya dapat membaca profilku di kompasiana ketik saja suharsonosuharsono sebagai referensinya atau telp 02747889345

Leave a comment